Dear, lelaki berhidung bangir
Tiba-tiba aku teringat padamu, saat aku termangu
Kok bisa? Padahal kita belum pernah bersua?
Itulah keunikan rasa..
Bahkan ketika kita belum pernah bertemu dan memilikimu
Aku sudah merindukanmu
Rindu yang hanya selalu ku sampaikan lewat doa-doa
Rindu yang hanya ku curahkan dengan kata-kata
Kadang, aku meminta bantuan angin untuk menyampaikannya
Apa pesanku sudah sampai?
Aku pakai paketan kilat, dengan kurir yang cepat melesat
Pasti sudah sampai, aku rasa..
Aku selalu gemetar ketika membayangkan pertemuan
Pertemuan yang elegan dan berkelas
Kau kenakan tuksedo hitam, pantofel warna senada
Membawa sebuah benda di tanganmu
Bunga? Mungkin saja.. Tapi tidak,
Cincin? Ah, tidak juga
Di tanganmu terdapat kotak kayu
Di dalamnya berisi kesetiaan, kasih sayang, tanggung jawab, dan kecemburuan dengan stok penuh
Aku tergugu..
Kau lelaki kedua, yang membuatku jatuh cinta
Yang pertama, tentu saja ayahku tercinta
Tak usah cemburu, dia sudah mendahuluimu
Kau mendekat,
Membisikkan sesuatu padaku.. “Maukah berdansa denganku?”
Tiba-tiba musik klasik terdengar dari piringan hitam di pojok ruangan
Aku tertatih, karena aku belum terlatih
Kau tertawa, dan terkesan menghina
Aku memang gadis sederhana, yang tak terbiasa berdansa
Jadi wajar saja..
Kau kembali tersenyum, hidungmu jadi bertambah mancung
Musik kembali mengiringi
Menyelinap di antara kecanggungan kami
Dan menebarkan doa-doa kebaikan
Kebaikan untuk kita..