Tentang Kamu yang Tak Kunjung di sampingku

crochet-love-birds-cake-toppers

bridalpulse.com

Mungkin kata orang diriku terlihat menyedihkan.

Aku lebih memilih berjalan sendirian daripada dengan pria yang belum halal secara ikatan.

Karena aku lebih memilihmu, menunggumu, orang yang tepat yang akan menjadi imamku.

Aku tak mau terlihat lebih menyedihkan dengan berpura-pura menjalin hubungan dengan seseorang agar aku terlihat baik-baik saja.

Banyak pria random datang, tapi aku belum bisa mengiyakan.

Karena aku lebih memilihmu yang datang secara elegan, yang tak perlu kata-kata gombalan, dan berjalan tegap mantap menatap ke depan.

Kata orang, aku terlalu santai.

Apa mereka tahu?

Berapa sujud sudah basah di sajadah.

Berapa catatan yang ku tulis untuk menumpahkan.

Berapa kali aku merasa aku butuh kamu.

Memang tak ada hubungan yang sempurna, tapi hubungan yang bertahan lama lebih indah.

Hubungan sakral ini tak perlu tergesa-gesa, hanya karena omongan tetangga sebelah.

Hubungan ini seharusnya menjadi hubungan yang menjadi kebaikan bersama, bukan hanya kita berdua.

Hubungan yang tak hanya penuh romansa, tapi semakin mendekatkan diri kepada-Nya.

Untuk kamu yang sampai saat ini belum berada di sampingku,

Tetaplah bersabar, aku pun akan bersabar.

Terus memperbaiki diri, memantaskan diri.

Semoga Allah mempertemukan kita dengan cara yang indah, pada waktu dan tempat yang tepat.

 

Laboratorium Komputer, 06 Mei 2016

Surat Cinta #1

Dear, lelaki berhidung bangir

Tiba-tiba aku teringat padamu, saat aku termangu

Kok bisa? Padahal kita belum pernah bersua?

Itulah keunikan rasa..

Bahkan ketika kita belum pernah bertemu dan memilikimu

Aku sudah merindukanmu

 

Rindu yang hanya selalu ku sampaikan lewat doa-doa

Rindu yang hanya ku curahkan dengan kata-kata

Kadang, aku meminta bantuan angin untuk menyampaikannya

Apa pesanku sudah sampai?

Aku pakai paketan kilat, dengan kurir yang cepat melesat

Pasti sudah sampai, aku rasa..

 

Aku selalu gemetar ketika membayangkan pertemuan

Pertemuan yang elegan dan berkelas

Kau kenakan tuksedo hitam, pantofel warna senada

Membawa sebuah benda di tanganmu

Bunga? Mungkin saja.. Tapi tidak,

Cincin? Ah, tidak juga

Di tanganmu terdapat kotak kayu

Di dalamnya berisi kesetiaan, kasih sayang, tanggung jawab, dan kecemburuan dengan stok penuh

Aku tergugu..

 

Kau lelaki kedua, yang membuatku jatuh cinta

Yang pertama, tentu saja ayahku tercinta

Tak usah cemburu, dia sudah mendahuluimu

 

Kau mendekat,

Membisikkan sesuatu padaku.. “Maukah berdansa denganku?”

Tiba-tiba musik klasik terdengar dari piringan hitam di pojok ruangan

Aku tertatih, karena aku belum terlatih

Kau tertawa, dan terkesan menghina

Aku memang gadis sederhana, yang tak terbiasa berdansa

Jadi wajar saja..

 

Kau kembali tersenyum, hidungmu jadi bertambah mancung

Musik kembali mengiringi

Menyelinap di antara kecanggungan kami

Dan menebarkan doa-doa kebaikan

Kebaikan untuk kita..

Mengapa Kita Di Sini?

23-animation-wallpaper.preview

Mengapa kita ada di sini?

Mengapa kita dilahirkan dan menempati dunia yang semakin lama semakin sesak ini?

Pasti ada tujuan! Ya, pasti!

Apakah mencari kebahagiaan? Harta? Atau beribadah saja?

Saya menulis ini, saat saya mulai bosan dengan resolusi orang-orang di tahun baru beberapa minggu yang lalu. Dan itu hampir sama!

Diantaranya ingin sukses, bahagia, memiliki mobil, rumah mewah, atau menjadi ahli ibadah.

Terlepas dari itu semua, saya mulai mereka-reka..

Sebenarnya dunia ini ada untuk apa?

Dengan adanya bermacam-macam makhluk yang diciptakan-Nya, bersuku-suku, ada yang bermata coklat sampai biru.

Berbagai kebudayaan, kebiasaan.

Ada daerah tropis, daerah suhu minus.

Pegunungan, pantai.

Kulit putih, kulit hitam.

Melihat kompleksitas dunia, apa tujuan kita hanya sebatas harta? Kalau Tuhan menciptakan dunia agar manusia berlomba-lomba mencari harta, kenapa ada si miskin dan si kaya?

Orang miskin walaupun sudah bersusah-payah, berjuang sekuat tenaga mencari harta kenapa sampai akhir hayatnya tetap miskin? Kenapa Tuhan tidak berlaku adil dengan melihat usaha siapa yang paling ekstra? Nah!

Atau Tuhan menginginkan kita hanya untuk beribadah kepada-Nya? Sepanjang hidup kita?

Kalau iya, kenapa tidak diciptakan saja kamar-kamar khusus untuk kita tinggali, biar kita bisa khusyu’ beribadah, selalu mengingat-Nya sepanjang waktu. Tidak perlu ada pantai, gunung, dan ciptaan-Nya yang lain yang melihatnya saja kita bisa berdecak kagum?

Sebab itulah, tujuan manusia dilahirkan dan adanya dunia tidak sesimpel itu.

Lihatlah, betapa dunia ini menunggu untuk diselami.

Menyelami perbedaan yang diciptakan Tuhan, saling mengenal satu sama lain, saling menghormati.

Tak perlu menggerutu jika ada yang lebih mancung dari kita, lebih kaya dari kita, atau lebih sukses dibanding kita.

Sebab Tuhan menghendaki kita saling berbagi, berbeda untuk saling melengkapi.

Hidup ini hanya sekali, berkawan dan mengenal orang yang beraneka rupa, menyelami hidup mereka melatih diri untuk berjiwa besar, jiwa yang besar tidak datang spontan, tetapi dilatih.

Dalam buku karya Agustinus Wibowo “Titik Nol”, yang telah melakukan perjalanan ke wilayah Asia Selatan, diantaranya Pakistan. Di daerah yang namanya Thar, daerahnya berupa padang pasir. Hujan pernah tidak turun selama 4 tahun, binatang ternak tinggal tulang belulang. Perjalanan dan perjuangan masyarakat setempat untuk medapatkan setetes air pun membuat kita tak percaya bahwa ada manusia yang bisa hidup di daerah dengan cuaca ekstrim seperti itu. Menyelami kehidupan mereka, membuat kita bersyukur dengan apa yang kita punya dan alami sekarang.

Itulah sejatinya salah satu tujuan dunia ini diciptakan, dengan bermacam-macam suku, ras, budaya, kita dilahirkan untuk saling menyelami satu sama lain agar kita selalu rendah hati dan bersyukur.

***

Makin banyak melakukan perjalanan, berkenalan, dan menghormati orang yang ditemui, semakin bijak pula hidup kita dalam memandang hidup.

Tuhan juga menciptakan dunia yang menakjubkan. Pemandangan eksotis, alam yang penuh historis.

Mereka juga menunggu untuk diselami, bukan untuk pamer banyak uang, atau gara-gara mengikuti tren, biar kekinian.

Tapi Tuhan menciptakan dunia dengan adanya pemandangan eksotis, daerah bersalju, tropis, air terjun, pantai, gunung, gua, dan sebagainya, semuanya untuk mengingatkan kita bahwa kekuasaan-Nya sungguh luar biasa, ciptaan-Nya sungguh tak ada duanya. Akhirnya kembali, kita bersyukur kepada Tuhan, telah melahirkan kita ke dunia dan bisa melihat indahnya ciptaan Tuhan yang menakjubkan.

“Makin banyak melakukan perjalanan, dan mengambil hikmah setiap hal yang dilalui, semakin sering kita bersyukurdan dekat kepada-Nya.”

Bersyukur. Dimulai dari rasa ini, kedekatan kita pada Tuhan akan semakin rapat. Ibadah kita semakin giat. Karena dilahirkan ke dunia, bertemu makhluk ciptaan-Nya yang unik-unik dan ajaib, berkesempatan mengagumi isi dunia, bukan semata-mata karena mengejar surga.

Kalau saja, hidup kita dihabiskan untuk mengejar harta, lalu apa tujuan paling akhirnya? Apakah bahagia? Belum tentu. Masuk surga? Apalagi.

Kebahagiaan seseorang tidak selaras dengan banyaknya uang yang dimiliki. Bahkan ada orang yang semakin kaya malah semakin gelisah.

Tentu kekayaan juga bisa membuat hidup orang semakin berkah. Contohnya ada seorang pengusaha. Beliau merintis usaha dari bawah sampai akhirnya sekarang menjadi sukses. Setiap hari beliau selalu mem-posting tulisan-tulisan yang isinya selalu bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan di akun facebook-nya. Hidupnya selalu berbagi dengan orang yang disekelilingnya, mendorong pegawainya untuk maju, dan saya lihat beliau terlihat bahagia. Nah, bahagia itu selalu dimulai dari rasa syukur.

Ada lagi seseorang yang juga mulai merintis dari bawah dan sukses, punya banyak mobil, banyak rumah. Tapi terkesan selalu kurang puas. Ingin menambah dan menambah terus kekayaannya. Sampai lupa pada sekeliling. Pegawai selalu disuruh-suruh, bossy. Seorang tuan yang baik bukankah yang selalu mendorong semangat anak buahnya untuk bisa lebih melampauinya dan memberikan semangat?

Mungkin beliau merasa bahagia, tapi apakah orang disekelilingnya juga ikut bahagia?

Teringat perkataan ibuku saat kami sedang melintasi rumah yang dalam masa pembangunan, rumah itu sangat mewah, besar, dan gagah.

Ibuku kemudian bilang, “Apan ndelok wong nggawe omah guedhe-gedhe nginiki kok koyok bakal urep sak lawase (kalau lihat orang membangun rumah besar-mewah seperti ini, kok rasanya bakal hidup selamanya).”

Saya jadi teringat, dunia ini tak selamanya. Amat singkat, rugi kalau hanya harta yang dikejar.

“Hidup ini sebenarnya sangat singkat. Benar-benar singkat. Kalau kita berada di pagi hari, ingatlah bahwa boleh jadi kita akan meninggal pada petang hari. Kalau kita berada di petang hari, ingatlah bahwa mungkin saja umur kita tak sampai di pagi hari. Kita benar-benar tidak mengetahui kapan kematian akan datang. Buatlah sebaik-baik persiapan. Sehingga jika ajal tiba-tiba menjemput, kita tidak akan terkejut menyambutnya.” (Agar Kita Bisa Husnul Khatimah, hal. 42)

Hidup yang kekal adalah kehidupan setelah dunia, mari kita persiapkan.

Berharaplah, semoga kita masih diberikan kesempatan untuk menyelami tujuan hidup yang sebenarnya, agar kita mampir di dunia ini tidak sia-sia. Jikalau pun nanti tidak sampai besok kita bisa melihat dunia lagi, mulai dari detik ini perbaiki diri! Tidak ada kata terlambat.

Menjadi Dewasa

Kenapa kita harus menjadi dewasa?

Menjadi dewasa bagiku tidak bisa dipaksakan, tetapi tumbuh dewasa pasti.

Entah kenapa, pertanyaan di atas kerap kali terlintas di pikiranku sejak aku memutuskan kembali ke kampung, tinggal di rumah, dan mengabdi di pondok.

Perilaku menjadi dewasa saat umur kita sudah menginjak 20-an mutlak dimiliki dan sangat penting untuk masyarakat sekitar. Di antara perilaku dewasa yang harus dimiliki remaja menginjak dewasa awal menurut masyarakat adalah segera menikah. Dan lagi-lagi topik ini tak pernah luput untuk ditanyakan di berbagai kesempatan. Entah itu saat lebaran, nikahan teman seangkatan, bahkan ketika bertemu di jalan.

Oke, kita tak bisa menampik hal itu dari bagian perjalanan hidup kita. Namun, seolah-olah lumrah untuk dicerca pada kita yang telah menginjak dewasa awal. Pertanyaan ini serupa dengan kapan punya momongan? Kalaupun tidak segera punya, timbul pertanyaan yang terkadang tidak manusiawi dan menyinggung hati.

Beberapa waktu yang lalu, salah satu temanku (teman se-geng masa SMP dan SMA) melangsungkan pernikahan. Peristiwa ini telah menjadi cubitan kecil padaku bahwa aku memang sudah tidak bisa dianggap kecil lagi. Topik yang sama akhirnya keluar dari beberapa teman tentang masa depan, tentang seseorang yang akan menemani hidup kita kelak. Oke, dan aku harus mengakui bahwa akhir-akhir ini aku terganggu dengan hal itu. Memikirkan lelaki-lelaki yang pernah singgah di hati, sampai menelusuri beberapa kenalan yang akan jadi opsi.

Di lain kesempatan, aku malah tak pernah terpikir untuk segera menyempurnakan agama (menikah-red). Apalagi ketika sisi feminisku muncul, ku akui aku termasuk salah satu pengikut Ayu Utami. Tak perlu dipikirkan berlarut-larut, kalau sudah datang kesempatan dan takdirnya, aku pasti nurut.

Tentang menjadi dewasa ini, kita akan semakin sering diliputi rasa hati-hati, was-was, dan penuh pertimbangan saat memutuskan menjadi orang dewasa seutuhnya. Inilah mengapa, orang dewasa selalu tidak asyik, dan banyak aturan. Banyak yang harus dipertimbangkan ketika melakukan sesuatu. Akhirnya malah jadi kaku dan tidak rileks. Stres sering menghinggapi, bahkan gangguan kesehatan datang silih berganti.

Aku tidak bisa memilih untuk menjadi anak yang tidak dewasa seterusnya. Kita tahu bahwa kehidupan terus berjalan. Masa kanak-kanak kita direnggut, kemudian menjadi remaja, dewasa, akhirnya dewasa akhir.

Sampai sekarang, aku masih belajar menjadi dewasa. Karena menjadi dewasa tak semudah main gobak sodor di halaman rumah, tak seriang hujan-hujanan keliling kompleks, tak semenarik memasang kertas pada capung-capung, dan tak semenakjubkan mengetahui ramalan tentang anak-anak kita nantinya dengan munculnya bulatan-bulatan di pergelangan tangan saat kita tekan.

Selamat belajar menjadi dewasa dan menjalani masa dewasa. Semoga masa dewasa tidak merenggut rasa kebebasan, tanpa beban, dan keriangan kita menjalani hidup layaknya masa kanak-kanak

Masakan Nostalgia

Kemarin siang saat santai di rumah bersama Emak.

Mae, aku kok pengen mangan gimbal bawang iko lho, seng biyen gelek sampeyan gawe (Mak, aku kok pengen makan bakwan bawang dulu itu lho, yang dulu sering Emak bikin)”. Kataku sambil membayangkan gimbal bawang yang aku pun sudah lupa-lupa ingat rasanya. Saking jarangnya Emak bikin gimbal itu lagi.

Iyo, sisok isuk digawekno gawe sarapan (Iya, besok pagi dibikinin buat sarapan)”. Jawab Emak.

***

Keesokan paginya, aku berjalan ke dapur dan di atas meja sudah ada adonan gimbal bawang yang belum digoreng. Emak tidak ada di dapur, mungkin sedang beli sesuatu di toko, pikirku.

Ku aduk-aduk adonan gimbalnya. Bumbunya seperti bumbu gimbal atau bakwan biasa untuk tempe atau udang. Hanya saja tepungnya pakai tepung beras, bukan tepung terigu. Yang paling khas dan unik itu ya isiannya, pengganti tempe atau udang. Gimbal ini isiannya atau campurannya terdiri dari potongan bawang merah dan bawang daun, juga ditambah irisan kelapa (ini yang bikin gurih dan enak).

Ya memang, dulu Emak sering buat menu gimbal bawang ini untuk sarapan karena memang keterbatasan bahan. Dulu Emak kesulitan untuk membeli bahan yang mewah untuk memenuhi kebutuhan makan anak-anaknya yang banyak, meskipun itu cuma tempe. Jadi bahan yang ada di dapur disulap menjadi masakan yang tinggi cita rasa. Kata Emak, dulu Bapak juga sangat suka dengan gimbal bawang ini. Aku suka menggerutu waktu kecil dulu kalau Emak bikin gimbal bawang ini. Ini bukan lauk, kataku dalam hati. Lauk itu ya ikan, tempe, tahu, bukan tepung isinya bawang dan kelapa doang. Tapi ya habis juga sarapanku dengan lauk gimbal bawang, malah kadang nambah nasi. Hehe

Emak kembali dari belanja, aku bilang padanya biar aku saja yang menggoreng. Akan telat ke sekolah kalau Emak menggoreng dulu. Pagi itu memang Emak ada jadwal mengajar di MI dekat rumah. Akhirnya, satu persatu adonan tepung itu berubah menjadi gorengan yang siap disantap. Hmm.. Baunyaaa, benar-benar masakan rasa nostalgia.

Menyantap sarapan pagi itu, terasa berbeda. Justru karena keterbatasan, sebuah masakan bisa menjadi sebuah kenangan. Bukan mewah atau mahalnya makanan yang membuat kita merasa nikmat, tetapi rasa syukur yang membuat makanan sederhana menjadi terasa sangat enak. Selalu bersyukur, lidah masih bisa mencecap, lambung masih bisa diajak kompromi, dan usus belum mengambil masa cuti.

Masakan Nostalgia